Senja meredup temaram saat aku
melihat wanita itu. Masih
menggunakan gaun hitam panjang yang
menyembunyikan siluet tubuhnya.
Rambutnya terus berkibar
menyeruakkan aroma verbenna
memenuhi hamparan udara. Aku
menghirupnya dalam-dalam. Diam-
diam. Dia mulai bernyanyi.
Bersenandung. Menyanyikan melodi
patah hati. Kesedihan. Kehilangan.
Requiem. Kematian. Dengan kedua
tangannya yang lentik, menaburkan
bunga-bunga di sekelilingnya. Aku
tahu. Ia sedang sangat berduka. Entah
untuk siapa.
“Aku menyenandungkan requiem ini,
untukmu. Lelaki yang mencerabut
separuh sayapku. Lelaki yang memagut
separuh jiwaku.”
Sayup-sayup aku mendengar suaranya.
Ini malam ketujuh aku melihatnya.
Bergaun hitam. Menari-nari di tepian
rawa sembari menaburkan kelopak
mawar-mawar hitam hitam. Dan sejak
pertama kali aku melihatnya, aku tahu.
Dia mencuri hatiku tanpa pernah aku
mengenalnya. Malaikat yang kucintai
diam-diam. Malaikat yang merupa
Hawa. Aku mendekatinya, menepuk
pundaknya perlahan. Membimbingnya
memasuki pondokku yang hangat.
“Apa yang kau lakukan di tepian
rawa?” Tanyaku, mempersilakan
duduk di sofaku yang berwarna
kemerahan. Kontras dengan tubuhnya
yang pucat. Aroma kue madeline
menguar dari pangganganku, manis.
“Kau lapar?” Tanyaku lagi, melihatnya
tidak mengacuhkanku. Ia menggeleng,
menyibakkan rambutnya yang
beraroma verbenna. Menatapku dengan
mata kelabunya yang tajam. Menelisik. “Aku melihatmu tujuh hari berturut-
turut di depan pondokku. Di tepian
rawa, menari-nari. Bersenandung
requiem-requiem kematian yang
menakutkan. Aku hanya ingin tahu,
siapa kau?” Aku meletakkan senampan
madeline di hadapannya. Aroma madu
memenuhi udara, berpadu dengan
aroma verbenna. Aku tidak bisa
melepaskan pandanganku dari
malaikat itu. Entah malaikat, entah
iblis, entah manusia. Wanita asing
bergaun hitam inilah yang mencuri
malamku selama tujuh hari hanya
untuk memimpikannya.
Mendambakannya. Diam-diam.
Aku menyentuh jemarinya. Sepercik
api menyeruak dari ujung-ujungnya. “Jangan sentuh.” Ia berkata, dingin.
“Jangan mencoba mengenalku.”
Lanjutnya lagi. Lebih dingin. Mendadak
ia berdiri, mengibaskan gaunnya
dengan kasar. Entah apa yang terjadi,
aku merasa sakit di ulu hati. Sebuah
penolakan. Oleh wanita yang bahkan
aku tidak mengenalnya.
“Apa salahku?” Tuntutku,
mencengkeram erat lengannya. Tak
kuhiraukan rasa menyengat yang
membakar jemariku. Ia menyibak
rambutnya. Sebuah sayap hitam
mengembang di punggungnya. Koyak.
Terbakar diujung-ujungnya.
“Aku datang dari tujuh tahun hidupmu
mendatang. Setelah engkau mencerabut
satu sayapku dan memagut separuh
jiwaku. Dengan kematianmu, kau
membakarku dalam kesedihan.”
Malaikat bergaun hitam itu
memelukku. Menyelubungiku dengan
penglihatan masa depan. Aku
mengejang, melihat gambaran-
gambaran masa depan. Aku melihat
diriku berdiri di depan pondok,
melihat wanita itu bergaun emas.
Bersayap pelangi. Aku mengejarnya di
rerumput bersalju. Menciumnya
diantara semak mawar hutan.
Mendayung perahu bersamanya di
rawa-rawa berlumpur. Menyesap
anggur di bibirnya. Memeluknya di
depan perapian. Memasak madeline.
Melumuri bibirnya dengan madu
hingga berkilauan. Menertawainya saat
menyembunyikan sayapnya yang
pelangi. “Kau malaikat yang kucintai.” Aku
berbisik di tengah kepulan awan-awan
kelabu ingatan miliknya yang sedang ia
bagi denganku. Pelukannya menguat.
Aku memenuhi penciumanku dengan
aroma verbenna di rambutnya. Aku
kembali melihat masa depan. Sebuah
badai bergulung-gulung. Petir
menggelegar. Sesosok lelaki bersayap
biru mengejarku. Lingkaran halo di
kepalanya berkilat-kilat. Di tepian
rawa-rawa yang berkabut, tombak
hitamnya melenting. Menusuk dadaku.
“Aku kemari untuk membinasakanmu.
Kepedihanku atas kehilanganmu tidak
termaafkan. Satu sayapku patah, enggan
tumbuh. Kesedihan menggelayutiku
seperti kegelapan. Disinilah aku akan
menguburkanmu, menyenandungkan
requiem kematianmu. Di masa engkau
belum mengenalku dan aku belum
jatuh cinta. Padamu.”
Requiem itu begitu indah, meluncur
ringan dari bibirnya yang berubah abu-
abu. Requiem kematianku. Aku roboh.
Sesosok lelaki bersayap biru tersenyum
miring. Lingkaran halo di kepalanya
berdenyar terang saat ia mencium
malaikatku.